Generasi Z yang Mudah Bayar, tetapi Sulit Cari Cuan
Generasi Z difasilitasi fitur pembayaran yang sat-set, tetapi tak segampang itu mencari cuan.
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya
Saya berruntung sekali terlahir sebagai generasi Z. Bagaimana tidak? Teknologi sudah berkembang pesat, segalanya serba mudah, dan juga cepat. Bahkan, perihal uang saja tidak perlu ada simpanan dalam bentuk fisik terlalu banyak di dompet.
Pembayaran non-tunai semacam itu tentu lebih praktis dan patut dimanfaatkan oleh generasi Z yang apa-apa maunya instan dan sat-set. Dompet tidak menyimpan banyak recehan dan uang lembaran bernominal kecil yang penampakkannya sudah lecek. Metode pembayaran non-tunai ini tidak hanya berlaku di toko penjualan yang sudah memiliki nama besar. Akan tetapi, para pedagang kecil pun sudah banyak yang menerapkan hal tersebut.
Salah satu contoh yang sudah menggunakan pembayaran non-tunai adalah rumah makan Betawi di depan kos-kosan saya. Sebagai anak kos yang sering kekurangan uang tunai, tentu metode pembayaran non-tunai bisa menjadi jalan ninja saya. Cukup membuka aplikasi pembayaran digital, lalu kamera ponsel diarahkan ke barcode yang tersedia. Dengan begitu, tidak perlu meminta kembalian bukan?
Namun, di balik kemudahan dan kecanggihan yang dinikmati oleh kaum saya, generasi Z, ada tantangan yang harus kami hadapi, khususnya dalam hal manajemen pengelolaan uang. Generasi Z dimudahkan dengan fitur pembayaran yang praktis, cepat, dan aman. Namun, begitu syulit untuk mencari cuan di tengah persaingan dan ketidakpastian yang tinggi.
Salah satu hal yang membedakan generasi Z dengan generasi sebelumnya adalah cara membayar barang dan jasa. Kami lebih suka menggunakan metode pembayaran yang non-tunai, seperti e-wallet, QR code, atau kartu debit dan kredit. Kami juga lebih sering berbelanja di toko daring daripada luring karena lebih hemat waktu, tenaga, dan biaya.
Fitur pembayaran non-tunai ini tentu membuat transaksi lebih cepat dan efisien. Generasi Z tidak perlu repot membawa uang tunai, menghitung kembalian, atau antre di kasir. Cukup memindai kode atau menyentuh kartu untuk melakukan pembayaran. Kemudian, transaksi lebih aman dan terlindungi. Generasi Z tidak perlu khawatir kehilangan uang tunai, menjadi korban pencurian, atau tertipu oleh penjual. Kami juga bisa melacak riwayat transaksi dan mendapatkan bukti pembayaran yang resmi.
Selain itu, transaksi lebih fleksibel dan variatif. Kami bisa memilih berbagai metode pembayaran yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi sendiri. Hal yang tidak kalah penting adalah kami bisa mendapatkan berbagai promo, diskon, cashback, atau poin yang bisa ditukar dengan barang atau jasa lainnya.
Meskipun dimudahkan dengan fitur pembayaran yang canggih, generasi Z juga menghadapi kesulitan dalam mencari cuan. Dikutip dari laman kompas.id, struktur demografi masyarakat yang berstatus penganggur didominasi oleh generasi Z yang berusia 15-24 tahun. Jumlahnya mencapai 52,2 persen pada Agustus 2022. Apabila ditambah dengan anak muda usia 25-29 tahun, jumlahnya menjadi 66 persen. Artinya, dari tiga anak muda terdapat dua orang di bawah 30 tahun yang tidak mendapatkan pekerjaan. Sementara itu, porsi anak muda di bawah 30 tahun hanya 23,7 persen yang bekerja.
Jumlah penganggur di kalangan generasi Z ini akan kian meningkat apabila tidak ada kebijakan pendidikan dari pemerintah perihal transformasi pekerjaan di masa yang akan datang. Dunia pendidikan harus memiliki kebijakan yang bisa diarrahkan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan di pekerjaan di masa depan.
Pada Oktober 2022 lalu, survei yang dilakukan oleh McKinsey and Company menunjukkan data generasi Z yang mengaku penghasilannya di masa ekonomi saat ini tidak membuat mereka memiliki kualittas hidup yangbaik sebesar 26 persen. Uang yang ditabung pun sedikit dan ada banyak yang berutang demi melunasi utang lainnya. Generasi Z juga harus berusaha lebih giat lagi dibandingkan dengan generasi lain, teru